Rabu, 29 Februari 2012

KULIHAT KUDENGAR KURASA

Gemerlap dunia memudarkan keindahannya, Membutakan mataku.
Gemuruh suara tanpa makna merobek keheningan, Menulikan telingaku.
 Kerasnya kehidupan mengikis hatiku, Tumpulkan perasaanku, Membunuhku.

  Wahai cinta, di manakah engkau?..Bukalah mataku, Berteriaklah di telingaku, Rasukilah hatiku,
 Agar Kulihat, Kudengar, Kurasa, Makna hidup yang sesungguhnya. ~ ARI LASSO, Singapore, 03-03-04

ANJI



Anji yang mendapat darah seni dari sang bunda yang seorang penyanyi, sempat trauma nge-band karena banyak teman bandnya saat SMP dan SMA yang meninggal akibat narkoba.

KARIR
Anji mulai main band lagi tahun 1998 saat kuliah di Fakultas Sastra China UI. Bersama teman-temannya, Anji mendirikan Yuck Fou namun sebagai bassis bukan vokalis. Kepercayaan diri sebagai vokalis kembali didapatnya pada tahun 2001 saat perayaan 17-an dengan membawakan lagu-lagu Padi.

Setelah itu, Anji kembali menyanyi. Sambil mengelola Clinic Studio milik keluarganya, Anji mulai nge-band bareng Clinic Funk sebagai vokalis dan berhasil ikut kompilasi IMPERIUM 1 di tahun 2002 dengan menempatkan 3 lagu di dalamnya yang berjudul Dulu, Bukan kamu, dan Atas Nama Cinta. Lagu Atas Nama Cinta menjadi single dari album kompilasi tersebut dan dibuat video klipnya.

Beberapa band yang pernah menggaet Anji sebagai vokalis antara lain Sayap, Vintage, digamit sebagai featuring Kotak dalam salah satu turnya, Rockomotiv, hingga menjadi personal manager band jebolan Dreamband 2 yakni Ares. Anji yang pernah mendirikan grup band beraliran pop funk, Menthol, pada tahun 2005 ini akhirnya ditawari untuk menjadi vokalis Drive menggantikan Avant.

Pada tanggal 1 Mei 2011, Anji memutuskan untuk mundur dari Drive, band yang sudah membesarkannya. Mundurnya Anji adalah dengan alasan dari manajemen, dan tidak bisa disebutkan karena suatu alasan. Anji mengungkapkannya saat jumpa pers di Demang Resto & Coffee Lounge Sarinah Thamrin (La Monte Building), Jakart

.

ARI LASSO

ARI Bernadus LASSO
Ketika kecil, ia dikenal sebagai anak badung, pintar, dan tergila-gila pada sepak bola. Meski hanya bisa main gitar sekadarnya, ternyata dia diam-diam menyimpan obsesi jadi anak band.

Awal Juni lalu, matahari masih membakar bumi ketika telepon genggam pria itu berbunyi. Meski sangat capai setelah dua hari berturut-turut naik panggung di wilayah Jabodetabek sampai tengah malam, ia tetap bergegas berangkat dari rumahnya di Kawasan Bintaro, Tangerang, menuju Ancol, Jakarta Utara. Malam itu ia akan tampil bersama band Naif dan Element.

Setiba di Taman Impian Jaya Ancol, pria berambut gondrong itu langsung menuju ke sebuah panggung megah setengah jadi yang dipenuhi seperangkat alat musik bervoltase ribuan watt. Ia membaur dengan kru dan teknisi band-nya yang tengah sibuk menyetel dan mengoreksi sound system. Di tengah hiruk pikuk yang memekakkan telinga, ia berusaha memasang telinga baik-baik. Setiap kali mendengar nada-nada yang kurang pas, ia langsung meminta krunya membetulkan atau menyetel kembali. Baru satu jam kemudian ia merasa puas.

Begitulah gambaran jadwal dan kegiatan Ari Lasso belakangan ini. Minggu berikutnya, ia harus terbang ke Kalimantan untuk tampil di beberapa tempat di Samarinda dan Balikpapan. Sepulang dari situ, ia langsung ke Surabaya untuk mengadakan serangkaian show. Hari-hari yang sangat melelahkan, tapi sekaligus membahagiakannya.

Menengok ke belakang, setidaknya hingga tujuh tahun lalu, kesibukan dan kebahagiaan semacam itu rasanya mustahil dirasakan ayah tiga anak ini. Selain dicopot sebagai vokalis utama Dewa 19, band yang membesarkan namanya, ia pun terpuruk dalam kegelapan yang pekat. Terjerat putaw dengan parah --bahkan ia pernah berusaha ‘mencari mati’ dengan menggunakannya secara over dosis-- dan jatuh miskin karena semua uangnya ludes untuk membeli barang-barang haram itu. Kedua orang tuanya sudah angkat tangan meng­hadapi kelakuan anak bungsu mereka itu.

Ternyata, Tuhan masih mengasihinya. Buktinya, sampai saat ini ia masih diberi kesempatan menyaksikan indahnya matahari terbit dan terbenam. Ia pun merangkak lagi dari nol, selangkah demi selangkah. Mencoba bersolo karier di tahun 2001, dewi keberuntungan ternyata berpihak pada pria kelahiran Madiun, 17 Januari 1973, itu.

Album Sendiri Dulu (2002), yang diprediksi hanya terjual 60.000 keping, ternyata laku keras hingga mencapai 400.000 keping. Wajarlah kalau belum lagi lima tahun bersolo karier, ia sudah mampu memiliki rumah mewah berlantai dua, lengkap dengan kolam renang, beberapa mobil keluaran terbaru, serta sejumlah tabungan dan deposito.

Tidak hanya itu. Lewat album-album cintanya, berbagai penghargaan musik juga berhasil diraihnya sejak album solo pertamanya dilempar ke pasaran. Antara lain, sebagai penyanyi solo terbaik versi AMI-Sharp 2002, Anugerah Planet Muzik Singpura 2005, penghargaan platinum dari perusahaan rekaman Aquarius Musikindo 2004, dan masih banyak lagi. Tahun ini ia juga diangkat sebagai duta budaya oleh Wali Kota Surabaya.

‘SI ENDUT’ YANG GILA BOLA
Ari Bernardus Lasso adalah putra bungsu dari lima bersaudara pasangan Bartholomeus Bernard Lasso dan Srie Noerhida. Saat Srie mengandung Ari, Bernard Lasso masih menjabat sebagai Asisten Perum Perhutani Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Warga sekitar biasa memanggilnya Pak Sinder. Ia membawahi sekitar 40-60 orang pegawai, termasuk lima resort polisi hutan yang harus mengamankan sekitar 600-700 hektar hutan. Jarak dari rumahnya --di Kompleks Perhutani Banaran (Sragen)-- ke kan–tor sekitar 30 km, sementara dari Madiun jaraknya sekitar 50 km. Tak lama sebelum Ari lahir, Bernard diangkat sebagai Ajun Administratur Perum di Saradan, sehingga mereka sekeluarga pun pindah ke Saradan, sekitar 40 kilometer dari Madiun.

Bernard mengenang anak bungsunya itu sebagai anak yang sangat aktif dan lucu, sehingga hampir semua orang menyukainya. Empat kakaknya semua berambut keriting, hanya Ari yang berambut lu­rus. Selain itu, bentuk kepalanya pun ‘istimewa’. ”Ari tidak pede dengan rambut pendek, karena bentuk kepalanya peyang,” kata Vitta Dessy, istrinya, sambil tertawa. Konon, kalau rambutnya dipo­tong cepak, bagian belakang kepalanya akan terlihat rata. Itu sebabnya, sejak remaja ia tidak pernah memendekkan rambutnya. Ia baru memotong rambutnya ketika menikah.

Menurut Bernard, dibanding keempat anaknya, Ari memang paling nakal dan kurang mengerti etika. Padahal, keempat kakaknya tergolong anak manis dan sangat patuh. ”Sejak kecil dia memang ndugal, tidak paham sopan santun, dan kurang hormat terhadap orang tua. Dia itu sak karepe dhewe, semaunya sendiri,” kenang Bernard, tertawa. Di mata kakak-kakaknya, Ari juga dikenal sangat menjengkelkan, karena tukang ngeyel.

Ari merasa, masa kanak-kanaknya sangat indah. Meski ayahnya merupakan orang nomor satu di kompleks perumahan dinas itu, ia dan kakak-kakaknya dibebaskan bermain dengan siapa saja, termasuk dengan anak-anak kampung di sekitar situ. Ia dibebaskan main becek-becekan di sawah, mandi di kali, main sepak bola, mencari burung di hutan, dan ikut menggembalakan kambing atau kerbau milik teman-temannya. Kalau sedang tidak sibuk, ayahnya menemani Ari bermain layang-layang di lapangan. ”Aslinya saya itu wong ndeso…,” ujar Ari, tertawa.

Sejak mulai masuk SD (di SDN Banaran) tubuhnya juga jadi makin tambun, sehingga ia dijuluki ‘Si Endut’ oleh kakak-kakaknya. Di kelas 2 SD saja, beratnya sudah 35 kg. Dan, makin subur lagi setelah ia menjalani sunat (khitan) pada awal SMP. Tapi, berbeda dari umumnya anak-anak bertubuh subur yang jadi malas bergerak dan doyan tidur, Ari justru tergolong sangat aktif. Ia juga berotak cemerlang.

”Sejak masih kanak-kanak, kecerdasan Ari memang sudah menonjol. Terlihat dari cara bicara, kreativitasnya, atau sikap kritisnya,” kenang Bernard, penuh kebanggaan. ”Sejak mulai bisa membaca, ia menjadi maniak buku. Kalau diberi uang, ia jarang membeli mainan, yang dibelinya selalu buku.”

Buku-buku koleksinya memang bertumpuk, meski bacaan favoritnya saat itu baru sebatas buku cerita dan komik, seperti Rin Tin Tin, petualangan Dr. Karl May, Shatting Bulls, Apache, Pendekar dari Bukit Manoreh, Sabuk Intan, dan sebagainya. Saat duduk di kelas 4 SD, ia bahkan sudah punya perpustakaan sendiri, yang buku-bukunya ia sewakan kepada teman-temannya. Hasilnya dipakai lagi untuk menambah koleksi buku dan untuk jajan.

Ari juga sangat fasih bila diajak bicara tentang sepak bola. ”Dia betul-betul hafal semua jadwal pertandingan liga di luar negeri, termasuk nama-nama pemainnya. Rupanya, diam-diam dia rajin membaca koran-koran saya,” kenang Bernard, tertawa.

Gara-gara ‘gila bola’ itu pula, Ari yang baru duduk di kelas 3 SD mengajak teman-teman di kompleks rumahnya mendirikan klub sepak bola Perhutani yang diberi nama Persatuan Sepakbola Bayu Rimba. Sebagai motor klub tersebut, Ari rela bekerja keras untuk menghimpun dana. Ia giat mengajak anak-anak pejabat Perhutani untuk bergabung sebagai pemain sekaligus penyandang dana.

Ari sendiri selalu tampil sebagai sponsor utama, yang siap menutup kekurangan biaya operasional klub tersebut. Berbeda dari teman-teman seusianya yang mendapatkan uang dari orang tua, Ari justru mengumpulkan dana dari hasil ‘bisnisnya’ sendiri. Baik dari hasil penyewaan buku-buku perpustakaannya, juga dari ‘gajinya’. Ia memang selalu mendapat ‘gaji’ bila membantu ibunya mengurus dagangan. Hebatnya, meski banyak kesibukan, di sekolah ia tetap pelanggan peringkat pertama.
 SI BADUNG INGIN JADI ANAK BAND

Ketika kecil, ia dikenal sebagai anak badung, pintar, dan tergila-gila pada sepak bola. Meski hanya bisa main gitar sekadarnya, ternyata dia diam-diam menyimpan obsesi jadi anak band.

Ketika naik ke kelas 4 SD, Ari terpaksa berpisah dari teman-teman main sepak bolanya. Ia harus mengikuti ayahnya yang pindah tugas ke Bojonegoro. Baru dua tahun di sana, ia pindah lagi ke Surabaya. Setelah lulus SD, ia melanjutkan ke SMP Negeri I2, yang merupakan salah satu SMP favorit di Surabaya. Bahkan, ia berhasil menjadi salah satu lulusan terbaik. Selanjutnya, ia melanjutkan ke SMA Negeri 2, yang dikenal sebagai surga anak-anak band. Saat itu, ia memang mulai tergila-gila pada musik.

MEWARISI BAKAT IBU

Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ari berarti adik. Ari memang adinda tersayang bagi keempat kakaknya, Prinanti Hanifa, Dwindata Femdika, Trioni Alfianus (Onny), dan Niken Kristiana. Bernardus adalah nama opa buyut Ari yang berdarah Toraja. Adapun Lasso adalah nama panggilan bagi anak laki-laki dari keluarga terpandang di daerah Toraja.

Srie, sang ibu, tidak pernah mengira kalau anak bungsunya itu bakal mengikuti jejaknya sebagai penyanyi. Wanita kelahiran Banyuwangi itu dulunya memang seorang penyanyi yang cukup terkenal di daerahnya. Ia terlahir dari keluarga musisi. Orang tua dan saudara-saudaranya juga memiliki suara merdu dan pintar main musik. Salah satu kerabat dekatnya adalah Emilia Contessa, penyanyi terkenal tahun 1970-an, yang juga berasal dari Banyuwangi.

Ari mulai tertarik pada musik saat duduk di kelas 2 SD. Namun, yang akrab di telinganya saat itu justru lagu-lagu dari kelompok Queen, Rolling Stones, The Police, Rod Stewart, John Denver, dan sebagainya, yang sering diputar kakak-kakaknya.

Berbeda dari kebanyakan anak-anak lain yang umumnya bercita-cita jadi dokter, insinyur, atau tentara, sejak awal ia justru sudah menanam cita-cita jadi penyanyi. Obsesinya adalah tampil menyanyi di lapangan sepak bola dan ditonton oleh puluhan bah–kan ratusan ribu orang.

Padahal, saat itu ia tak bisa memainkan alat musik apa pun. Belakangan, ia belajar main gitar sendiri. Hasilnya pun hanya sekadar bisa. Ia lebih banyak melatih vokalnya, biasanya sembari mengunci diri di kamar. Sambil mendengarkan lagu-lagu rock Barat kesayangannya dari kaset, ia lantas berteriak-teriak sendiri.

Cita-citanya jadi penyanyi mulai menemukan jalan saat ia duduk di SMA. Di sinilah ia mencurahkan hampir seluruh waktunya untuk menekuni musik, sembari menekuni hobinya yang lain, mendaki gunung. Namun, tanpa dia sadari, keasyikannya berada di luar rumah perlahan-lahan menggiringnya ke kehidupan yang membuat prihatin keluarganya. Selain jarang pulang dan hubungan dengan kedua orang tuanya makin renggang, Ari juga jadi malas belajar, sehingga prestasinya di sekolah merosot tajam. Nilai-nilainya sangat jeblok.

Kesadarannya baru terbangun seminggu menjelang ujian akhir. ”Selama tiga tahun di SMA, hanya seminggu itulah saya belajar beneran,” ujar Ari, tertawa. ”Waktu itu, target saya hanya satu, yaitu bisa masuk perguruan tinggi negeri untuk menyenangkan orang tua,” katanya. Hasilnya? Bukan saja ia berhasil lulus SMA dengan angka lumayan, tapi juga berhasil menembus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, perguruan tinggi negeri kebanggaan Jawa Timur.

Di SMAN 2 ini pula Ari berkenalan dengan para penggila musik di sekolahnya, seperti Dhani Ahmad, Piyu (gitaris PADI), Wawan Juniarso (drummer Dewa pertama), Erwin Prasetya, dan Andra Junaidi. Saat itu, Dhani sudah cukup menonjol di kalangan pemusik muda Surabaya, dan sudah mendirikan ‘Dewa’. Tapi, anehnya, Dhani tak tertarik mengajak Ari yang bersuara tinggi nge-rock itu untuk bergabung dalam band-nya. Kenapa?

”Jenis musik kesukaan kami berbeda,” papar Dhani, lugas. ”Ari lebih mengarah pada pop rock dan menyukai Bon Jovi, sedangkan band favoritku Queen yang classic rock. Tapi, kami sama-sama suka Chicago. Meski begitu, kami tetap berteman, kok, dan sering nongkrong bareng. Teman-teman Ari juga teman-teman aku.”

Ari pertama kali membentuk band dengan Piyu dan Wawan. Mereka membentuk Outsider Band. Ia kemudian direkrut oleh Los Angeles Band, cikal bakal Boomerang, sebuah band beraliran rock yang lumayan beken di kalangan anak muda. Sayang, band itu akhirnya layu sebelum berkembang.

BERGABUNG DENGAN DEWA 19
Baru di tahun 1990, saat sama-sama duduk di kelas 3 SMA, Dhani Ahmad mengajaknya bergabung. Ini di luar dugaan Ari, karena selama ini selera musik mereka berdua kurang sejalan. Rupanya, ada satu momentum yang akhirnya membuat Dhani ‘jatuh hati’ pada Ari. Dhani mengaku sangat terkesan saat Ari menyanyikan lagu Chicago, Hard to Say I’m Sorry. Saat itu Dhani juga sedang berencana mengubah format band yang dipimpinnya saat itu, Down Beat Band, dan menggantikan penyanyinya yang wanita dengan penyanyi laki-laki. Ari pun direkrut sebagai vokalis baru Down Beat Band .

Setelah itu, Dhani bersama Erwin, Wawan, Andra, dan Ari sepakat untuk menghidupkan kembali band Dewa yang pernah mereka dirikan saat masih sama-sama duduk di SMP (1987). Nama Dewa diambil dari huruf depan para personelnya. Karena nama depan Ari juga diawali huruf ‘A’, mereka tak perlu mengubah nama band. Selanjutnya, mereka sepakat menambahkan ‘19’, karena di tahun 1991 itu, saat menyatu dalam Dewa, umur kelimanya sama-sama 19 tahun. Maka, lahirlah kelompok band Dewa 19.

Saat setahun kemudian, Dewa 19 meluncurkan album perdananya, industri musik Indonesia sedang didominasi kelompok Slank, Java Jive, Gigi, KLA Project, juga Kahitna. Di tengah band-band besar yang merajai pasar, album pertama Dewa 19 yang berjudul Kangen (Ku Kan Datang) ternyata berhasil terjual 300.000 keping, bahkan berhasil meraih BASF Award 1993 sebagai album terlaris.

Kunci sukses album pertama Dewa 19 itu tentu tidak lepas dari suara merdu Ari. ”Ari memiliki suara yang sangat merdu dan khas,” puji Dhani Ahmad. Kesuksesan ini memuluskan jalan arek-arek Suroboyo ini untuk melangkah ke album-album selanjutnya. Tahun 1992 mereka kembali meluncurkan album kedua, Format Masa Depan. Sama dengan yang pertama, album ini juga tak kalah meledak, dalam waktu relatif singkat terjual 500.000 keping.

Sebagai band yang masih bau kencur, keberhasilan Dewa 19 memang tergolong luar biasa. Selanjutnya adalah sebuah cerita sukses. Mereka sibuk manggung di berbagai kota di seluruh penjuru tanah air. Dan, nama Ari Lasso pun ikut melambung seiring dengan melejitnya nama Dewa 19. Ia kini sudah menjadi selebriti.
 MASA-MASA TERGELAP DALAM CENGKERAMAN NARKOBA

Menjadi terkenal tiba-tiba membuat hidupnya limbung. Ia makin tenggelam dalam cengkeraman narkoba yang sudah menjeratnya sejak di SMA. Dalam keputusasaan, ia bahkan sempat mencoba bunuh diri.

Tanggal 22 Desember 2000. Seorang pria muda kurus kering berwajah sayu dan berambut gondrong semrawut, duduk bersimbah duka di samping tempat tidur sebuah rumah di Kompleks Perumahan Delta Indah Sari, Surabaya. Sambil terus berdoa, Ari Lasso, pria berpakaian kumal dan baru saja turun dari kereta api dari Jakarta itu, terus memegangi tangan ibundanya yang sudah sembilan hari mengalami koma.

Wanita tua yang tengah meregang nyawa itu terbaring lunglai tanpa daya. Meski tak dapat bergerak dan bicara sedikit pun, sesekali kedua sudut matanya basah oleh air mata. Menyaksikan ibunya terbaring tak berdaya di detik-detik terakhir hidupnya, ditambah luka hati yang begitu dalam memikirkan nasib anak bungsunya, tangis Ari pun pecah. Tersedu-sedu, tersengal-sengal.

Dengan suara terbata-bata, ia pun mengucapkan janji di telinga ibunya. ”Ma…, Ari janji pada Mama bahwa Ari akan sembuh. Mama tidak usah memikirkan Ari lagi. Papa dan semua anak-anak Mama sudah ikhlas kalau Mama ingin berangkat sekarang....”

Bagi Ari, detik-detik penantian kepergian wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu adalah detik-detik penentuan ’kelahiran’ atau justru ’kematiannya’. Ya, itulah detik-detik kalkulasi sikapnya, apakah akan hidup terus dan menjadi penyanyi seperti yang diimpikannya sejak bocah, atau mati tanpa arti dengan jarum-jarum menancap ke sekujur tubuhnya.

NARKOBA MENGUBAH SEGALANYA
Suksesnya album-album Dewa 19 makin mendekatkan hubungan Ari Lasso dan Ahmad Dhani. Menurut Dhani, banyak faktor yang membuat persahabatannya dengan Ari bertahan hingga saat ini. “Dari segi sifat, Ari dan aku sangat cocok, sehingga pertemanan kami sangat awet,” papar Dhani, di studionya yang menyatu dengan rumahnya di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. “Sifat Ari tidak dominan, sementara aku sangat dominan. Selain itu, aku dan dia sama-sama sangat religius dan sama-sama hobi baca buku, sehingga pemikiran kami selalu nyambung,” tambahnya.

Meski tak terlalu rajin ke gereja (karena sangat jauh dari rumahnya), Ari dibesarkan di tengah lingkungan keluarga Kristiani yang cukup religius. Tapi, sejak mulai masuk SMA, ketaatannya pada agama mulai lumer. Hal itu juga tak luput dari pengamatan sang ayah, Bernard, yang mengaku sangat prihatin melihat perkembangan putra bungsunya itu. Pada hari Natal yang seharusnya merupakan saat berkumpul terindah bersama semua anggota keluarga, Ari justru kabur ke gunung. Ada saja alasannya untuk pergi dari rumah.

Ari tidak menyangkal hal itu. Ia mengakui, sejak masuk SMA, kenakalannya memang makin menjadi-jadi. Selain menjadi anak yang sulit diatur dan suka berbohong, ia juga sering tidak pulang. Kalau tidak naik gunung, ia berlatih musik selama berhari-hari di rumah teman-temannya. ”Tapi, minta izinnya, sih, mau belajar di rumah teman, he...he...he...,” ujarnya, tergelak

Seperti anak muda pada umumnya, rasa ingin tahunya dalam berbagai hal sangat tinggi. ”Padahal, untuk mengetahui tentang sesuatu, kita ’kan harus mencoba lebih dulu,” ujar Ari, terkekeh. ”Untuk mengerti tentang pengaruh ganja, misalnya, saya kan harus nyobain dulu. Dari coba-coba itulah akhirnya saya jadi kecanduan.”

Ari juga diam-diam mempraktikkan berbagai percobaan tentang ilmu ‘permabukan’. Ia tidak hanya mencampur bir dengan soft drink, tapi juga dengan berbagai jenis minuman keras lain. Ia bahkan mulai mengenal berbagai jenis obat terlarang. Ia mengakui, sejak masuk SMA kehidupannya mulai liar. Hampir setiap malam Minggu dia mabuk bersama teman-teman se-geng-nya.

Namun, sejauh itu Ari merasa masih bisa mengendalikan diri dan emosinya. Setidaknya, ia yakin tidak bakal kecanduan. Keyakinan diri yang kelewat kuat itulah yang akhirnya membuahkan malapetaka berkepanjangan. Karena merasa sudah terbiasa mabuk, Ari mengiyakan saja saat ia ditawari mencicipi putaw oleh salah seorang personel band Slank, yang menyebutnya sebagai ‘barang baru’ yang luar biasa mengasyikkan.

Ternyata dia salah besar. Tanpa benar-benar disadari, tahu-tahu dia sudah tenggelam begitu jauh. ”Saya itu aslinya anak kuper,” Ari berterus terang. ”Saya tak punya banyak teman sehingga saya lebih suka menyendiri. Putaw membuat saya bisa bersembunyi dari publik.”

Delapan bulan kemudian, barulah dia sadar bahwa dirinya kecanduan berat. Tepatnya, pada Mei 1994. Waktu itu ia sedang pulang ke Surabaya. Karena tak mengonsumsi putaw seharian, mendadak ia sulit sekali tidur. Padahal, saat itu untuk mendapatkan putaw di Surabaya masih sangat sulit. Karena sudah tak tahan lagi, esok paginya ia langsung kembali ke Jakarta, agar bisa secepatnya mendapatkan putaw.

Di saat yang sama, Dewa 19 sedang mempersiapkan album ketiga mereka, Terbaik Terbaik. Ari mengenang, saat berada di studio rekaman, sekujur tubuhnya tiba-tiba kedinginan, perutnya mulas, tenggorokan gatal, dan ingin muntah-muntah. Belakangan ia baru tahu bahwa begitulah keadaan seseorang yang sedang sakaw (putus zat).

Namun, ketika seorang temannya menawari putaw, Ari masih sempat menolaknya. ”Masa mau rekaman pakai gituan!” katanya, polos. Ia lantas minum obat-obatan biasa, sekadar untuk meringankan rasa sakit. Tapi, meski telah minum beberapa tablet, tidak ada perubahan sama sekali. “Akhirnya, saya terima juga tawaran putaw itu. Anehnya, tidak lama kemudian saya langsung sembuh. Dari situlah saya menyadari bahwa saya sudah kecanduan!”

DIPECAT DARI DEWA 19
Srie, ibunda Ari, akhirnya harus menyerah setelah hampir dua tahun berjuang melawan gerogotan kanker payudara. Srie akhirnya tiba di pengujung kehidupan duniawinya. Di sisinya, sang suami terduduk lunglai tanpa daya.

Sudah terbayang di benak kakek 10 cucu ini, bagaimana berat dan peliknya kehidupan yang harus ia hadapi ke depan. Namun, yang paling memberatkan hatinya adalah kondisi anak bungsunya. “Sejak diberi tahu bahwa Ari menjadi pecandu putaw, saya merasa dunia kiamat!” kenang Bernard dengan mata menerawang.

Setelah pensiun sebagai pejabat Perhutani di Madiun, Bernard dan istrinya pindah ke Pekanbaru, Riau, selama dua tahun. Ia diminta memimpin salah satu perusahaan HPH di sana. Hari masih pagi ketika Onny --anak sulungnya yang menetap di Yogya-- tiba-tiba menelepon sang ayah di kantornya di Pekanbaru, sekitar akhir 1995. Dengan suara bergetar dan tersendat-sendat, Onny menyampaikan berita itu, “Pa, Ari kena narkoba....”

Bagai dipukul godam, pandangan Bernard mendadak gelap dan tubuhnya sempoyongan. Sebagai direktur utama, jelas ia tidak ingin musibah yang menimpa keluarganya itu diketahui anak buahnya dan mengganggu tugas-tugasnya di kantor. Akhirnya ia memutuskan keluar kantor dan pergi ke gereja. Dalam perjalanan, sambil menyetir mobil, ia menangis tersedu-sedu.

Semula ia ingin menumpahkan tangisnya di gereja yang tidak jauh dari kantornya. Tapi, niat itu ia urungkan, karena khawatir akan mengundang pertanyaan orang. Akhirnya, ia hanya menjalankan mobilnya tanpa tujuan, dan akhirnya berhenti di pinggir sebuah lapangan. Di situlah ia mencoba berserah diri dan memohon pertolongan-Nya. Tak lama kemudian, ia dan istrinya memutuskan kembali ke Surabaya untuk mendampingi anak bungsu mereka.
 MASA-MASA TERGELAP DALAM CENGKERAMAN NARKOBA

Kuliah kandas, percintaan gagal, ditendang dari dewa, jatuh miskin, dan kembali beban orangtua. Ia merasa satu-satunya jalan keluar adalah... bunuh diri!


Meski awalnya putaw bisa memacu keberanian dan adrenalinnya saat di panggung maupun di studio rekaman, perlahan-lahan barang laknat itu mulai memperlihatkan wajah sebenarnya. Selain tubuh dan batinnya makin rusak, sikap profesionalnya dalam bermusik pun kian hancur. Selain jadwal rekaman acap kali tertunda, Dewa 19 juga pernah gagal manggung di Lampung (1997) gara-gara Ari sibuk ‘belanja’ putaw dulu untuk bekal ke Lampung, sehingga akhirnya ia ke–tinggalan pesawat. Dewa juga pernah urung manggung di Manado, karena suara Ari tak keluar.

Perlahan-lahan, mulai timbul konflik antara Ari dan Dhani. Ke–tika makin runcing, produser mereka –Arie Suwardi Widjaja dari PT Aquarius Musikindo—terpaksa turun tangan. ”Makin hari, pertikaian mereka makin sengit. Rasanya tidak mungkin lagi dipersatukan,” ujar pria yang akrab dipanggil Pak Iin ini.

Iin bercerita, saat itu Ari pernah mengatakan bahwa dia ingin sembuh. Ia kemudian menghilang beberapa lama dari Dewa untuk menjalani penyembuhan. Usaha itu didukung oleh semua pihak. Bahkan, Dhani rela memvakumkan Dewa dari semua kegiatan demi memberi kesempatan pada Ari untuk berobat.

Suatu hari di tahun 1995, Iin bertemu lagi dengan Ari di Yogya. Ia senang sekali melihat keadaan Ari yang tampak bugar. Tubuh dan wajahnya tampak berisi dan cara bicaranya lancar. Kepada Iin, Ari menyampaikan niatnya untuk mundur dari Dewa 19, karena merasa tidak enak hati pada rekan-rekan segrupnya. ”Saya ingin bersolo karier. Bisa nggak, ya?” Ari meminta pertimbangan.

Tapi, semua itu ternyata hanya tinggal niat. Berkali-kali meng–ikuti program penyembuhan, berulang kali pula ia terjerumus kembali. Akibatnya, album kelima Dewa (1999) tak pernah terselesaikan. Ari yang berdomisili di Surabaya selalu ‘hilang-timbul’, entah pergi ke mana. Dhani yang sudah bekerja keras menyiapkan lagu dan mengatur jadwal rekaman, akhirnya patah arang. ”Ya, sudah, mendingan Dewa ganti formasi saja,” ujar Dhani, dalam nada tinggi.

Tapi, Iin masih belum menyerah. Karena sulit menyatukan keinginan mereka, diputuskan mereka tetap rekaman dengan formasi Dewa 19 yang lama, tapi hanya berisi kumpulan lagu terbaik mereka (Best Dewa), dan Ari tetap tampil sebagai penyanyi.

Pada saat proses pembuatan rekaman itulah Iin menyaksikan betapa hubungan Dhani dengan Ari sudah sangat rawan. Saat itu, Dhani bahkan sudah ogah melihat tampang Ari lagi. Saat dihubungi Iin, Ari yang saat itu di Surabaya, menyanggupi datang ke Jakarta saat jadwal rekaman tiba. Tapi, saat Ari datang ke studio, ternyata Dhani sudah pulang. Iin langsung menelepon Dhani. Tapi, Dhani malah meledak, ”Janjinya jam berapa dan datangnya jam berapa? Karena molor-nya kelamaan, ya, saya tinggal!”

Kesabaran Dhani memang akhirnya habis sudah. Apalagi, saat itu ia sudah mendapatkan vokalis baru, Onche. “Banyak pihak yang harus saya pikirkan. Sebenarnya, sudah sejak lama Ari ingin keluar, tapi selalu kami tahan karena kami masih ingin melihat dia sembuh. Tapi, akhirnya saya harus mengambil sikap tegas. Tahun 1999, Ari kami keluarkan dari Dewa 19!”

MEMUTUSKAN UNTUK MATI
Sesungguhnya kehidupan Ari saat itu sudah sangat mapan. Uangnya melimpah ruah. Tapi, semua hasil jerih payahnya itu ludes tanpa bekas gara-gara putaw. Menurut Ari, puncak kehancurannya terjadi pada tahun 1998-1999. ”Hidup saya benar-benar hancur-hancuran. Hampir setiap hari saya harus berbohong dan berutang agar bisa mendapatkan obat itu.”

Iin hanya bisa memandangi Ari dengan tatapan memelas. ”Ja–ngankan naik mobil pribadi, untuk naik taksi ke studio pun ia tidak punya uang. Akhirnya, saya beri dia uang sekadarnya untuk naik bus kota. Pokoknya, dia kere betul.”

Iin memang harus menegakan diri menghadapi Ari yang sudah dianggapnya adik itu. ”Meski Ari masih punya hak beberapa juta dari Aquarius, sebisa mungkin uang itu saya tahan. Kalau saya berikan, berapa pun jumlahnya, pasti langsung ludes untuk beli putaw,” Iin mengeluh.

Karena tak punya uang lagi untuk beli putaw, Ari pun nekat mencuri uang dan harta benda orang tuanya. “Semua perhiasan Mama habis saya jual. Itu pun dengan harga seadanya, pokoknya asal ada yang mau beli,” ujar pria yang sudah 12 kali menjalani rehabilitasi, tapi selalu terperosok lagi.

Ia pun putus asa dan gelap mata, ketika suatu hari berbagai beban kehidupan menderanya serentak. Kuliahnya di Universitas Airlangga kandas, percintaannya gagal, ‘ditendang’ dari Dewa, terpuruk dalam kemiskinan, dan dirinya kembali menjadi beban orang tua. Pikiran–nya pun mendadak menjadi kalut. Ia merasa, satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari impitan itu hanyalah kematian.

Malam itu rumahnya tengah kosong. Kedua orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Tekad Ari untuk meninggalkan dunia fana ini sudah bulat. Ia menulis surat kepada kedua orang tua dan kakak-kakaknya. Selain mohon pamit, ia juga memohon maaf atas segala dosa yang telah diperbuatnya.

Kali ini, ia tidak hanya menyuntikkan satu setengah gram heroin, namun juga menenggak sebotol Johnny Walker dan 38 butir dumolit. ”Dengan cara itu, konon mati saya akan terasa nikmat sekali. Saya akan tertidur pulas dulu dan baru setelah itu gagal napas,” Ari mengenang dengan nada kecut.

Tapi, Tuhan ternyata masih ingin melihat Ari menikmati dunia. Ritual kematian yang dilakukannya pada Senin dini hari tersebut, berakhir Selasa siang. Perlahan-lahan Ari mulai terbangun dari tidur panjangnya. Matanya perlahan mengamati sekeliling ruangan. Ia masih di tempat yang sama. Cahaya pun masih tajam di matanya. Ia baru sadar, usaha bunuh dirinya ternyata gagal total!
BANGKIT DARI TITIK NOL

Trauma berkepanjangan pada diri istrinya, sempat membuat Ari nyaris gagal menjalani rehabilitasi ketergantungannya pada putaw.

Cerita cinta Ari Lasso dan Vitta Dessy Catur Purnama bagaikan kisah dalam novel. Ada keindahan, ketegangan, kecurigaan, kesangsian, tawa, juga tangis. Kadang-kadang terkesan drama­tis, tragis, dan tak jarang sangat kekanak-kanakan. Vitta memang memiliki trauma tersendiri, yang membuatnya sulit percaya pada pria mana pun. Kondisi inilah yang nyaris menggagalkan upaya pe­­nyembuhan Ari dari ketergantungannya pada putaw.

CINTA DALAM SELITER ES KRIM
Peristiwa itu terjadi di bulan April 1995. Sebagai mahasiswa baru di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya, pagi itu Vitta kebingungan mencari tempat pembayaran uang kuliahnya. Di saat celingak-celinguk di depan Kantor Bagian Administrasi, tiba-tiba ia didatangi seorang pemuda gondrong yang mengaku sebagai seniornya di FE. Dengan ramah pemuda itu mengantarnya ke tempat tujuan. Namun, setelah usai membayar, pemuda itu tetap membuntutinya.

Dua hari setelah itu, pemuda gondrong itu tahu-tahu sudah muncul di rumahnya, di daerah Darmo Permai, mengenakan T-shirt berwarna hijau butut dan bercelana jeans kumal. Nekat, memang. Selain kedua orang tua Vitta berprofesi sebagai dosen, saat itu Vitta juga sudah punya kekasih yang tengah belajar di Australia.

Kalau sedang pulang ke tanah air, sang kekasih selalu datang ke rumah Vitta mengendarai mobil mewah, sementara pemuda itu hanya mengendarai sepeda motor Honda GL-Pro. ”Motor itu sampai sekarang masih ada dan tetap dirawat dengan baik di Surabaya. Benda kenangan yang tidak mungkin akan kami lupakan...,” papar Vitta, tersenyum.

Lucunya, meski nama Dewa 19 sudah sangat terkenal di tanah air, Vitta mengaku tidak begitu mengenal band itu maupun vokalisnya. ”Makanya, meski orang-orang di rumah heboh karena saya kedatang­an tamu seorang Ari Lasso, penyanyi terkenal, saya, sih, biasa-biasa saja, he...he...he...,” Vitta mengenang.

Tak hanya Vitta yang masih punya pacar. Ari pun sebenarnya tidak sedang jomblo. Tapi, entah kenapa, sejak bertemu gadis cantik berkulit kuning langsat dan bermata indah itu, ia langsung bertekuk lutut. Pu­tri keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Taufik Hadi dan Ruswiati Suryosaputra ini seakan terus menempel di pelupuk ma­tanya. Sejak pertemuan pertama di kampus, ia kasak-kusuk mencari alamat rumah gadis itu. Beruntung, senyum manis Vitta terus mengu­lum sejak ia datang ke rumahnya hingga pamit pulang.

Dua hari kemudian, Ari datang lagi dengan membawa seliter es krim. “Saking keasyikan ngobrol, tahu-tahu sudah pukul 9 malam. Dan, tanpa disadari, seliter es krim yang dia bawa sudah ludes. Dari pembicaraannya, terlihat sekali kalau Ari sangat hobi membaca. Meski saya juga hobi baca, bacaan saya tidak sebanyak dia,” ujar Vitta, kagum.

BERJUANG MENAKLUKKAN HATI ORANG TUA
Pada awalnya, Vitta hanya sekadar senang bergaul dengan Ari. ”Tapi, lama-kelamaan, kok, ada perasaan klik. ‘Nah, ini dia jodoh saya!’ Meski lahir dari keluarga yang cukup berada, ia mendapatkan rupiah demi rupiah dari keringatnya sendiri. Dia juga sangat cool, periang, dan menyenangkan. Dia bisa membuat saya tertawa sekaligus terlindungi,” ujar Vitta, ekspresif.

Di pihak lain, Ari makin tertarik pada Vitta, justru karena gadis itu bukan fans-nya. ”Saya tidak ingin cinta yang hanya karena kekagum­an sesaat, bukan karena saya seorang penyanyi atau public figure. Kalau hanya berdasarkan kekaguman, saya khawatir cintanya tidak akan langgeng,” Ari menimpali.

Awalnya, Vitta tidak tahu bahwa Ari adalah pecandu putaw. ”Tapi, ketika akhirnya saya tahu, saya sudah telanjur mencintainya,” Vitta berterus terang. Masa pacaran itu makin terasa mengasyikkan ketika Ari pindah ke Jakarta. Pertemuan yang hanya sesekali itu justru memunculkan keindahan dan kerinduan tersendiri.

Sampai sejauh itu, kedua orang tua mereka tampak tenang-te­nang saja. Tapi, ketika mereka menyatakan ingin menikah, barulah hambatan itu mulai muncul. Maklum, keduanya berbeda keyakinan. Yang paling menentang adalah kedua orang tua Vitta. Apalagi, mereka akhirnya tahu juga bahwa Ari adalah pecandu narkoba. ”Tapi, kami sudah saling cinta banget, rasanya tidak mungkin bisa dipisahkan lagi. Apa boleh buat, meski bebannya sangat berat, kami ngotot melanjutkan hubungan.”

Berbagai usaha sudah mereka lakukan berdua, tapi sejauh itu belum membuahkan hasil. Sikap Vitta jelas. Ia tidak ingin menikah dengan lelaki mana pun, kecuali Ari. Namun, ia juga tidak akan menikah kalau kedua orang tuanya tidak merestui.

Meski Ari terus menunjukkan kesungguhannya, orang tua Vitta bersikukuh tak merestui. Bahkan, ketika Ari datang melamar pun tetap ditolak. Kedua muda-mudi yang dimabuk asmara itu pun akhir­nya mengambil jalan pintas. Hasilnya, mudah ditebak, Vitta hamil.

Kali ini, barulah kedua orang tua Vitta mengalah dan akhirnya merestui perkawinan Vitta dengan Ari. Itu pun ketika usia kehamil-an putrinya sudah delapan bulan. Pada 4 Februari 1999, pasangan muda ini akhirnya dinikahkan oleh Pendeta Ratna di GKJW (Ge­reja Kristen Jawi Wetan) Waru, Surabaya.

Sebulan kemudian (12 Maret 1999), anak pertama mereka, Aura Maharani, lahir. ”Saya dan Ari sepakat, hal ini tidak akan pernah kami tutup-tutupi, termasuk kepada Aura kelak, karena semua ini kami lakukan dengan penuh kesadaran,” ujar Vitta, tersenyum.

BANGKIT PELAN-PELAN
Sehari sebelum istrinya melahirkan, Ari mendapat telepon dari Iin, bos Aquarius Musikindo Record. ”Ri, mau tidak kamu duet bersama Melly Goeslaw?” tanya Iin. Ditodong pertanyaan seperti itu, ia malah kebingungan. ”Apa saya bisa cocok berduet dengan Melly?” Ari justru balik bertanya. Belakangan, ia mengakui, pada masa-masa itu rasa percaya dirinya sedang benar-benar anjlok.

Ari pun berangkat ke Jakarta untuk rekaman bersama Melly. Tapi, lagi-lagi Iin dibuat sport jantung. Soalnya, baru pukul 7 malam Ari tiba di kantor Aquarius, padahal seharusnya pagi atau siang. Iin memberi uang sekadarnya untuk makan dan naik taksi, lalu Ari berangkat ke studio rekaman. Pada saat yang sama, Iin menelepon Melly, yang sudah sejak sore menunggu kedatangan Ari di studio. Ia mengabarkan bahwa Ari sudah datang dan sedang menuju ke studio.

Apa yang terjadi? Sampai detik-detik terakhir jadwal rekaman pukul 10 malam, Ari belum juga datang. Seharusnya perjalanan dari kantor Aquarius hanya memakan waktu sekitar 10 menit. Dengan gusar, Melly menelepon Iin, ”Kita jadi rekaman nggak, sih?”

Iin tentu saja sangat marah melihat kelakuan Ari yang tak kunjung berubah. Tapi, Iin tidak bisa berbuat apa-apa, karena saat itu Ari belum punya telepon genggam. Untunglah, tak lama kemudian Ari muncul di studio dan menjalani rekaman sampai selesai.

Beberapa bulan kemudian, saat album tersebut akan dipromosikan di sebuah stasiun TV, lagi-lagi jantung Iin nyaris copot. Sekitar lima menit sebelum kereta berangkat ke Jakarta, Ari baru nongol di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Padahal, tiketnya didapat dengan susah payah karena masih dalam masa Lebaran. Di Jakarta pun Ari ber­ulah lagi. Ia baru muncul hanya beberapa menit menjelang tampil di panggung bersama Melly. Untunglah, promosi album bertajuk Jika itu sukses besar dan terjual hingga ratusan ribu copy.
Trauma berkepanjangan pada diri istrinya, sempat membuat Ari nyaris gagal menjalani rehabilitasi ketergantungannya pada putaw.

Setelah itu, undangan manggung membanjir bagi Melly dan Ari. Tapi, ada yang jauh lebih penting. Penampilan pertama yang sukses di luar Dewa 19 itu juga sangat berperan membantu pemulihan jiwa Ari, termasuk rasa percaya dirinya.

Album pertama ini juga sekaligus menjadi ajang unjuk kemampuan Ari sebagai pencipta lagu. Sebelas tahun bernaung di bawah panji Dewa, Ari hanya mampu melahirkan dua lagu (Satu Sisi dan Aku Milikmu), sehingga ia nyaris tak pernah dikenal sebagai pencipta lagu. Sejak bersolo karier, dengan kemampuan bermain gitar ala kadarnya, ia mampu menciptakan beberapa lagu hit. Antara lain, Yang Terbaik, Perjalanan Panjang, Belahan Jiwa, Hampa, dan sebagainya.

Sebagai penyanyi, hingga kini Ari sudah melempar 12 album (5 album bersama Dewa 19, 2 album bersama Melly Goeslaw, dan 4 album solo). Album terbarunya yang baru dirilis Juli lalu, berisi kumpulan lagu terbaiknya, plus empat lagu baru. Dalam empat album solonya, Sendiri Dulu (2001), Keseimbangan (2003), Kulihat-Kudengar-Kurasa (2005), dan Selalu Ada (2006), ia juga mencoba menghilangkan image-nya sebagai vokalis Dewa yang beraliran semi-rock, dan menciptakan citra baru sebagai penyanyi pop melankolis.

MASA-MASA KRITIS AKHIRNYA BERLALU
Setelah Ari sukses berduet dengan Melly, Iin mulai menyiapkan kembali proses pembuatan album solo Ari yang lama terbengkalai. Bagi Iin, produksi album ini sangat melelahkan dan sekaligus menjengkelkan karena Iin harus menghadapi para pecandu drugs. ”Saya menghadapi anak-anak dari geng ’gila’ semua,” keluh Iin.

Meski sudah berjanji setulus hati di depan ibunya yang tengah meregang nyawa, serta sudah menikah dan punya anak, Ari memang belum bisa sepenuhnya lepas dari obat-obat terlarang itu. ”Tapi, meski ogah-ogahan rekaman, saya harus tetap menyanyi dan manggung, agar bisa menghidupi anak-istri,” ujarnya, polos.

Ari beruntung memiliki bos sebaik Iin. Dalam menangani Ari, berbagai perasaan berkecamuk di hati Iin. Mulai dari rasa sayang, kasihan, sedih, marah, kesal, sampai hilang kesabaran, lebih-lebih setiap kali ia didatangi orang-orang yang menagih utang Ari. Padahal, jangankan Iin, keluarganya pun nyaris angkat tangan menghadapi Ari.

Meskipun begitu, Iin belum menyerah. Saat itu ia sama sekali tak berperan sebagai produser Ari, melainkan sebagai sahabat dan kakak. ”Saya akan bantu kamu sebisanya. Ayo, kita tunjukkan pada semua orang bahwa kamu bisa sembuh dan mereka salah menilai kamu!”

Ari menyetujui program yang direncanakan Iin. Apalagi, ia pernah berjanji kepada almarhum ibunya, yang hingga saat itu belum juga dipenuhi. Sekeluarnya dari rumah sakit untuk detoksifikasi, ia menjalani pengasingan selama 6 bulan di sebuah apartemen yang sudah disiapkan Iin. Ia tidak boleh menerima tamu atau telepon dari siapa pun, termasuk dari Vitta, tanpa seizin Iin.

Ari mengakui, inilah saat-saat paling berat dalam hidupnya. Selain harus sekuat tenaga menahan godaan untuk terus menancapkan jarum-jarum setan itu, yang tak kalah berat adalah meyakinkan Vitta. ”Vitta selalu beranggapan perpisahan itu adalah awal perpisahan yang sesungguhnya,” kenang Ari, yang terakhir kali menggunakan putaw pada 30 April 2001.

Selama ia dikarantina dan Vitta dipulangkan ke Surabaya untuk sementara, Ari mengaku hubungannya dengan sang istri buruk sekali. Kalau tak menangis, Vitta setiap hari marah-marah. ”Di lain pihak, kondisi mental saya juga masih labil, sedangkan Vitta terkesan sangat kekanak-kanakan. Akibatnya, setiap kali bertemu kami berantem.”

Vitta mengakui, sejak menikah dan melahirkan anak pertama, ia menjadi sangat khawatir ditinggal Ari. Maklum, ia memendam pengalaman menyakitkan menyangkut sejarah keluarga besarnya, sehingga pernah tebersit keinginan untuk tidak akan menikah. ”Pe­ngalaman buruk itu menjadikan saya sulit percaya pada semua pria, termasuk pada Ari yang sudah menjadi suami saya. Saya sangat khawatir bakal ditinggal kawin lagi oleh Ari, dan perkawinan kami kandas di tengah jalan,” ujar Vitta, lirih.

Usai terapi pengasingan, Ari pun memboyong Vitta dan putrinya kembali ke Jakarta. Selama beberapa bulan, ketiganya tinggal berpindah-pindah di wilayah Jabotabek. Ari harus memulai kehidupannya dari nol lagi. Mereka pernah tinggal di rumah paman Ari di Bekasi, kemudian pindah ke rumah temannya yang biasa dijadikan markas band, lalu pindah lagi ke kantor Aquarius. Saat tinggal di kantor itu, Ari tidur di kursi tamu bersama seorang pesuruh kantor.

Pada November 2001 Ari akhirnya mampu mengontrak rumah di Jalan Kenari, lalu pindah ke daerah Bintaro. Ada pengalaman menggelikan saat tinggal di Bintaro. Suatu hari, karena belum mampu membeli telepon genggam baru, ia membeli yang bekas. Celaka­nya, masih ba­nyak pesan ‘aneh-aneh’ yang tersimpan di di dalamnya. Salah satunya adalah pesan singkat berbunyi, ”I love your massage.”

Saat Vitta membaca pesan itu, ia langsung naik pitam. Perang pun tak terhindarkan. Hampir dua jam keduanya bertengkar sengit, sampai-sampai Ari membanting botol yang berada di depannya. ”Sungguh masa-masa yang sangat melelahkan,” Ari tersenyum mengenang masa-masa kritis rumah tangganya.

Selain belum punya rumah sendiri dan ke mana-mana naik kendaraan umum, kondisi psikis Vitta masih rawan. Apalagi, anak kedua mereka yang masih bayi, Michael, kemudian meninggal dunia.

Akhirnya, pelan-pelan Ari berhasil juga meyakinkan Vitta. Meski dianggap artis, ia tak pernah keluyuran ke diskotek atau kafe, selain untuk menyanyi. “Saya memang tergolong artis ndeso, karena tidak kenal dunia glamor atau dugem. Kalau tidak rekaman atau manggung, saya lebih banyak di rumah atau pergi bersama keluarga.”

Seiring berjalannya waktu, hati Vitta mulai tenang. Kebahagiaan pasangan ini makin lengkap setelah lahir anak ketiga, Audra Anandita, dan disusul anak keempat, Abraham Lasso. Selain itu, sejak Ari berhenti sebagai pecandu putaw, rezekinya bagai hujan dari langit. Kurang dari lima tahun setelah bersolo karier, Ari sudah mampu membeli sebidang tanah dan rumah di pojok Jalan Camar, Bintaro, yang lumayan luas.

Bangunan yang lama dirobohkan, dan kemudian dibangun lagi sesuai seleranya. Kini, jadilah sebuah bangunan minimalis gaya Eropa berlantai dua, lengkap dengan kolam renang di samping rumahnya. Buah manis dari perjuangan panjang yang sangat menyakitkan, melelahkan, dan menguras kesabaran.

Album:
1.Sendiri Dulu (2001)
2 .Keseimbangan (2003)
3.Kulihat Kudengar Kurasa (2004)
4.Selalu Ada (2006)
5.The Best of (2007)
6.Yang Terbaik (2012)

JECO EKO


LAMONGAN, 8 DESEMBER 1987

RT / RW : 015/ 003 LABUHAN - BRONDONG - LAMONGAN - JAWA TIMUR - INDONESIA

AYAH : RASMILAN
IBU ; HARTATIK

KAKAK KANDUNG :
IIN
RAHAYUNINGSIH
UMIYATUN

ADIK KANDUNG:
ADI SUPRIYANTO

TWITTER : 

@JECOEKO
@JECO_EKO

FACEBOOK :

JECO EKO